Rabu, 25 Februari 2015

Sarpinisme yang Siap Merajalela

Minggu lalu, Hakim Sarpin Rizaldi telah mengetok palu tanda sidang praperadilan Budi Gunawan telah diputus. Putusannya adalah mengabulkan gugatan Budi Gunawan tentang diperkenannya sidang praperadilan untuk memutus tentang sah/tidaknya penetapan status tersangka. Hakim Sarpin juga memutus bahwa penetapan status tersangka oleh KPK kepada BG tidak sah.
Putusan tersebut menjadi perbincangan hangat di kalangan siapapun yang pernah belajar Ilmu Hukum. Seperti yang sudah saya tuliskan di artikel sebelumnya (Baca: PraperadilanAtas Status Tersangka, Bolehkah?), sebenarnya KUHAP tidak mengatur tugas sidang praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan status tersangka. Lalu, bagaimana jika ada pihak yang meminta hakim untuk mengujinya? Maka, mengikuti hukum progresif, hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Ya, saya sepakat jika Hakim Sarpin tidak boleh menolak mengadili gugatan praperadilan Budi Gunawan melawan KPK. Namun, saya juga mendukung penetapan tersangka kepada BG oleh KPK telah sah menurut hukum. Saya memprediksi putusannya adalah menyatakan bahwa praperadilan tersebut dapat memeriksa sah atau tidaknya penetapan status tersangka. Sementara KPK telah sah dalam menetapkan status tersangka kepada BG. Saya juga pernah menulis status di Path, yang perlu kita kawal dari sidang praperadilan BG ini bukan soal keanehan praperadilan yang memeriksa sah atau tidaknya status tersangka, tetapi hakim yang memeriksa perkara ini, yaitu Sarpin Rizaldi, yang pernah dilaporkan ke KY sebanyak 8x karena suap dan melanggar kode etik hakim.
Dan benarlah, putusan yang dibuat oleh hakim Sarpin seorang diri tersebut sangat mengejutkan. Memang, Hakim Sarpin tidak menolak untuk mengadili perkara gugatan praperadilan tersebut , tetapi bagaimana bisa, penetapan tersangka BG oleh KPK yang sudah berdasarkan dua alat bukti dinyatakan tidak sah. Tentu saja, hal ini menimbulkan masalah baru, yaitu KPK tidak mungkin mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) sebab dalam penyidikan perkara tindak pidana korusi oleh KPK tidak ada penghentian penyidikan. Hal ini memang diatur secara khusus demikian, sebab korupsi merupakan kejahatan luar biasa, maka harus diberantas dengan cara yang luar biasa pula. Solusi bagi KPK adalah mengajukan PK ke MA, seperti yang pernah terjadi dalam kasus praperadilan bioremediasi Chevron.
Yang menarik untuk dikritisi dalam kasus ini adalah ‘keunikan’ Hakim Sarpin yang ditunjuk menjadi hakim pemeriksa perkara ini. Hakim Sarpin yang pernah dilaporkan ke KY karena menerima suap, justru ditunjuk untuk mengadili praperadilan penetapan tersangka karena kasus korupsi. Bukan berarti suudzon, tetapi dalam dunia hukum, hal-hal yang membuat resah masyarakat sebaiknya dihindari. Penunjukan hakim saja tidak bisa sembarangan, contohnya hakim harus menolak mengadili jika pihak-pihak yang berperkara memiliki hubungan persaudaraan atau kekerabatan dengannya. Demikian juga dalam mengadili kasus korupsi. Penunjukan hakim-hakim yang mengadili kasus korusi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus bersih dari track record buruk korupsi. Apalagi dalam hal ini, penunjukan hakim tunggal untuk memeriksa praperadilan penetapan tersangka kasus korupsi. Maka, seharusnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memilih hakim yang mempunyai track record baik. Pengalaman tidak bisa berbohong. Ia bisa menentukan arah berpikir manusia.
Selain ‘keunikan’ di atas yang sudah saya prediksi sebelumnya, terdapat hal-hal lain yang tidak saya sangka akan terjadi, yaitu persidangannya sudah membahas pokok perkara. Biasanya, sidang praperadilan hanya berlangsung satu atau dua hari karena hanya memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan permintaan ganti rugi atau rehabilitasi. Hal-hal tersebut tentu belum membahas tentang pokok perkara, tetapi hanya hal-hal yang menyebabkan seseorang terampas HAM-nya demi tegaknya hukum dan keadilan. Sidang Praperadilan mirip sidang kasus perdata yang hanya mencari kebenaran formil. Adapun untuk membahas pokok perkara, diperiksa lebih lanjut dengan mencari kebenaran materiil. Hakim yang memeriksa pun lebih dari dua orang. Hal ini dimungkinkan karena dalam memutuskan suatu kasus, diperlukan musyawarah hakim yang berjumlah ganjil. Jika hanya satu orang, sangat rawan terjadi penyelewengan karena hakim hanyalah seorang manusia yang bisa alpa.
Namun, seperti yang kita lihat dalam kasus praperadilan BG, Hakim Sarpin seorang diri sudah menyentuh pokok perkara, dengan dihadirkannya saksi Hasto Kristyanto yang ditanyai soal Abraham Samad. Apa hubungannya Hasto dengan penetapan tersangka BG? Apakah pihak BG merasa bahwa Abraham Samad, pimpinan KPK, mempunyai dendam pribadi dengan BG sehingga BG dijadikan tersangka? Seharusnya, pihak BG cukup menghadirkan alat bukti yang berhubungan dengan penetapan status tersangka, atau ahli dari akademisi Hukum Pidana. Jika ternyata Hasto yang tidak ada hubungannya dengan persidangan ini dihadirkan, seharusnya Hakim Sarpin bisa menilai sendiri siapa saja saksi yang tidak relevan. Ya, inilah kekurangannya jika hakim yang memeriksa hanya seorang diri. Dia tidak bisa mendapatkan masukan dari hakim lain yang juga ikut memeriksa perkara.
Itulah rasionya hakim praperadilan adalah hakim tunggal. Namanya juga “pra”, yang berarti sebelum. Sidang praperadilan tidak boleh menyentuh pokok perkara. Jika sudah menyentuh pokok perkara, pembahasannya bisa panjang. Dalam memutuskan suatu perkara, yang paling penting adalah dua alat bukti dan satu keyakinan hakim. Satu keyakinan hakim ini tentu saja didapatkan dari proses musyawarah hakim. Jika ada seorang hakim yang salah, dua hakim yang lainnya bisa membenarkan.
Jangan bandingkan persidangan di Indonesia dengan Amerika yang hanya menggunakan hakim tunggal dalam memeriksa perkara. Sistem hukum kedua negara tersebut jelas berbeda. Indonesia menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu sistem hukum yang mendasarkan pada peraturan hukum yang tertulis, sedangkan Amerika Serikat menggunakan sistem hukum Anglo Saxon yang mendasarkan pada kebiasaan dan yurisprudensi.
Meskipun tidak wajib, hakim di Indonesia boleh mengikuti yurisprudensi. Maka, hal inilah yang dikhawatirkan banyak pihak akan diikuti oleh hakim-hakim selanjutnya jika ada tersangka yang menggugat penetapan status tersangkanya padahal tidak diatur dalam KUHAP. Dan benar saja, ada salah satu tersangka kasus korupsi dana haji, yaitu Surya Dharma Ali, menggugat penetapan status tersangkanya untuk disidangkan dalam praperadilan. Padahal, SDA sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak pertengahan tahun lalu. Bagaimana jalannya sidang praperadilan SDA nanti? Apakah akan sama dengan sidang peradilan BG yang ‘nyentrik’? Semoga virus “sarpinisme” tidak merajalela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar